Alternatif Penyelesaian Akibat Keberagaman Budaya
Melalui Interaksi Lintas Budaya – Hai sahabat, pada artikel kali ini kita akan
membahas tentang Alternatif Penyelesaian Akibat keberagaman Budaya melalui
interaksi Lintas Budaya. Yuk, langsung dibaca :
Alternatif Penyelesaian Akibat Keberagaman Budaya Melalui Interaksi Lintas Budaya |
Setiap suku bangsa memiliki budaya yang unik dank
has. Bangsa Indonesia terdiri dari ratusan (364-656) suku bangsa. Perihal suku
bangsa, Fredrich Barth menjelaskan; “Kategori kesukuan (etnisitas) sebagai
klasifikasi orang-orang dalam konteks “Identitas umum yang paling mendasar
(basic most general identity).’ Yang ditentukan oleh asald an latar belakang
orang-orang itu. Atriubut penting yang ada pada dasarnya mengidentifikasi
etnisitas ini ialah faktor-faktor primordial seperti bahasa daerah, adat
istiadat, nilai-nilai simbolik, agama dan territorial (Herimanto, 2001: 21).
Setiap suku bangsa memiliki identitas umum yang
paling dasar yang membentuk kesamaan antara orang-orang dalam satu suku bangsa.
Identitas umum itu juga membentuk perbedaan dengan orang-orang di luar suku
bangsanya. Identitas umum yang paling dasar itu membentuk bangsa yang khas dan
unik. Bila setiap suku Bangsa Di Indonesia memiliki budaya sendiri, kalian
dapat bayangkan di Indonesia terdapat banyak sekali budaya, berkisar antara 364
sampai dengan 656 budaya suku bangsa. Kalian akan sampai pada kesimpulan di
Indonesia sudah pasti terdapat keberagaman Budaya.
Setiap kelompok sosial, apapun perwujudannya, telah
mengembangkan pola-pola interaksi yang membaku, sehingga dapat
menjaminketertiban interaksi sesama warga. Persoaln timbul ketika
individu-individu itu bertemu dengan individu dari kelompok lain yang tidak
jelas kedudukan sosial atau identitas dirinya. Pada banyak komunitas adat yang
ketak membedakan antarwarga dengan bukan warga, Kehadiran orang asing itu
terpaksa dilalui dengan upacara adopsi untuk mempermudah perlakuan, kecuali
kalau yang bersangkutan akan tetap diperlakukan seabgai orang luar atau hendak
diperlakukan sebagai musuh. Hal ini tercermin antara lain dalam upacara
penyambutan pejabat dari pusat di daerah Tapanuli di masa lampau. Para tamu itu
biasanya dismabut dengan upacara yang memperjelas kedudukannya dalam struktur
sosial masyarakat Batak yang terikat dalam hubungan perkawinan tiga marga
(dalihan na tolu). Pada komunitas perang Dani di pegunungan Jayawijaya, di luar
kelompok kerabat patrilineal, hubungan periparan antarmereka berasal dari
kelompok sosial yang berlainan sangat kuat karena itu, untuk mempermudah
perlakuan terhadap orang asing, upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan
terhadap tamu yang dihormati, untuk menentukan pola-pola perlakuan yang layak
dan efektif. Bahkan di masa lampau, untuk membenarkan kewenangan Gubernerr
Jenderal Van Imhoff, sebagai wakil ratu Belanda, yang mengundang raja Jawa
sebagai penguasa tertinggi di Mataram, terpaksa diperlakukan sebagai Kanjeng
Eyang Paduka tuan Gubernur Jenderal yang menunjukkan senioritas dalam
kekerabatan.
Sesungguhnya walaupun sebagai makhluk sosial manusia
itu cenderung untuk hidup berkelompok, akan tetapi ia tidak mungkin
menghindarkan diri dari pergaulan lintas kelompok dalam mempertahankan hidup
dan mengembangkan kehdupan yang layak bagi kemanusiaan. Manusia itu merupakan
makhluk yang paling tinggi mobilitasnya dan sejak awal kehadirannya di muka
bumi. Terdorong oleh kebutuhan hidup yang tidak mungkin dipenuhi dalam
lingkungan sendiri, ataupun karena dorongan keingintahuan mencari pengalaman
baru, mereka seringkali melakukan perjalanan dan terlibat dalam interaksi
sosial lintas budaya itu sendiri.
Sebagaimana halnya dengan kebutuhan akan identitas
individu dalam penataan kehidupan bermasyarakat, setiap kelompok sosial juga
memerlukan identitas kolektif (Group Identity) sebagai sarana penataan sosial
(organizing reference) untuk mempermudah pergaulan lintas kelompok sosial.
Berbagai identitas kelompok dikembangkan untuk memperkuat kesadaran kolektif
(peoplehood), antara lain kelompok suku bangsa (ethnic group) yang dilandasi
oleh keyakinan aka nasal-usul nenek moyang bersama, baik yang nyata maupun
fiktif, serta kesamaan pengalaman sosial dan kebudayaan yang mengikat
kesetiakawanan sosial. Kesadaran menjadi anggota kelompok itu menjamin rasa
aman atau setidak-tidaknya kenyamanan bagi yang bersangkutan.
Alternatif Penyelesaian Akibat Keberagaman Budaya Melalui Interaksi Lintas Budaya |
Untuk memelihara kesetiakawanan sosial kelompok suku
bangsa, biasanya mereka mengembangkan simbol-simbol yang selain diyakini
kebenarannya, jugamudah dikenal, seperti bahasa, adat-istiadat dan agama.
Walaupun tidak setiap kelompok suku bangsa mempunyai bahasa yang berbeda dengan
kelompok lain, akan tetapi sesungguhnya ia lebih mengutamakan simbol-simbol yang
mebedakan dengan bahsa lainnya daripada kenyataan yang sesungguhnya
dipergunakan oleh segenap anggotanya. Contoh nyata adalah orang Batak yang
telah memeluk agama islam, walaupun mereka masih menggunakan bahsa Batak dalam
pergaulan sehari-hari, mereka cenderung untuk mengaku sebagai orang melayu
dengan membuang nama marganya. Sebaliknya orang-orang Dayak yang memeluk agama
islam cenderung membuang identitas kesukubangsaanya. Suku bangsa dayak
menggunakan bahsa Melayu dalam pergaulan sehari-hari.
Agama seringkali digunakan sebagai identitas
kelompok suku bangsa yang esensial, seperti orang Melayu dan orang Betawi. Akan
tetapi orang Jawa biasa beragama islam, Budha maupun Nasrani. Demikian pula
adat istiadat, gaya hidup, makanan,
pakaian dan bentuk perumahan, seringkali digunakan sebagai simbol
kesukubangsaan yang membedakan dengan kelompok suku bangsa yang lain. Akan
tetapi sesungguhnya di samping perbedaan yang memang makin nyata, seringkali
lebih banyak persaamaana, terutama diantara suku-suku bangsa yang berdekatan
wilayah dan terlibat dalam interaksi sosial yang intensif. Sebaliknya dalam
satu suku bangsa yang besar, bisa berkembang berbagai adat istiadat yang
berbeda, seperti antara orang Solo dengan Yogyakarta.
Betapapun masing-masing suku bangsa merasa bahwa
mereka memiliki simbol-simbol tertentu yang diyakini perbedaanya dengan
simbol-simbol suku bangsa lainnya, dan berfungsi sebagai media sosial yang
memperkuat kesetiakawanan sosial mereka. Walaupun demikian, sesungguhnya
kesetiakawanan sosial antarsesama warga dalam suatu suku bangsa itu tidak
sekuat kesetiakawanan yang terbentuk dalam kelompok-kelompok sosial yang lebih
kecil dan mempunyai profesi yang sama sebagai koorperasi (corporate group) jauh
di luar linkungan pemukiman asalnya.
Tidak jarang terjadi interaksi sosial lintas budaya
yang tidak imbang sehingga menimbulkan kesan adanya dominasi suatu suku bangsa
dan kebudayaan tertentu atas suku bangsa ataupun golongan sosial dan
kebudayaan-kebudayaan lainnya. Sejarah membuktikan betapa ambisi para penguasa
untukmemperluas pengaruh ke luar lingkungan kesukubangsaan maupun kebudayaannya
telah memperkaya bentuk dan ragam pola-pola interaksi lintas budaya di masa
lampau yang meninggalkan bekas-bekas yang positif maupun negative.
Keputusan untuk memperlakukan bahasa indonesia
sebagai bahasa resmi bukan hanya untuk mengukuhkan media sosial yang diperlukan
untuk memperlancar interaksi lintas budaya dalam masyarakat majemuk, melainkan
juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial. Jasa lain yang tidak boleh
diabaikan adalah pembentukan organisasi rukun tetangga sebagai komunitas lokal
yang mempersatukan segenap warganya tanpa memandang asal-usul kesukubangsaan,
golongan maupun latar belakang kebudayaanya. Konsep ketegangan inilah yang
selanjutnya akan memainkan peranan penting dalam menciptakan arena sosial yang
dapat menjamin kebutuhan akan rasa aman warganya, bebas dari kecurigaan dan
prasangka kesukubangsaan, golongan maupun perbedaan kebudayaan. Sesungguhnya,
di samping kesamaan ideologi, bahasa dan ketetanggan sebagai suatu kesatuan
sosial yang nyata merupakan media sosial yang dapat diandalkan dalam membangun
interaksi lintas budaya pada masyarakat perkotaan yang heterogen penduduknya.
Persoalan dalam keberagaman budaya adalah munculnya
berbagai konflik antarsuku bangsa, agama, status sosial ekonomi, dan lain-lain.
Ini merupakan suatu persoalan yang memerlukan sebuah pemikiranbagaiman
mengakomodasi antarbudaya tersebut dapat berlangsung dengan adil. Berbagai
upaya dalammemperatukan kebudayaan yang ada di lokal memang sulit.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pluralitas bangsa
Indonesia merupakan suatu fakta yang harus dihadapi bersama dengan pengembangan
sikap toleranasi dan empati agar eksistensi budaya lokal tetap lestari dan
terjaga.
Demikianlah Alternatif Penyelesaian Akibat
Keberagaman Budaya Melalui Interaksi Lintas Budaya. Semoga bermanfaat.
Baca juga artikel sebelumnya : Artikel Tentang Akibat Keberagaman Budaya di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar